Minggu, 07 Juli 2019

Yuk Bantu Wartawan Ciptakan Pers yang Manis tanpa over Clickbait


Kian hari banyak masyarakat di Indonesia yang mengeluhkan kinerja wartawan. Keluh masyarakat sejauh ini menjurus kepada fenomena pemberitaan, yang dikemas dengan bungkus clickbait headline. Strategi pengemasan berita dengan penggunaan clickbait headline atau umpan klik judul, dibuat sedemikian rupa untuk meningkatkan traffic pembaca. Adanya clickbait pada era pemberitaan media massa saat ini, diharapkan dapat mengundang khalayak agar lebih tertarik dengan berita yang disajikan.

George Loweinstein (1994) dalam teori curiosity gap menyatakan, celah informasi yang disebabkan oleh rasa penasaran membuat pembaca ingin mendapatkan kejelasan dan mengurangi ketidak pastian. Hal inilah yang menjadi motif universal pembaca untuk mengakuisisi suatu informasi dalam suatu artikel yang menggunakan clickbait headline (Rizky Kertanegara, 2018).

Teori curiosity gap menyebutkan, bahwa emosional seseorang dapat terpengaruh tanpa kita sadari. Ketika emosional seseorang telah terpengaruhi, seseorang akan secara tidak sadar akan membuka judul clickbait yang dibaca sekilas, cukup menarik perhatian. Saat seseorang membukanya karena terdapat rasa penasaran ketika membaca judul, yang terjadi kemudian adalah orang tersebut akan sadar bahwa isi dari berita tersebut tidaklah penting.

Apa yang menyebabkan media pemberitaan kita, khususnya media online saat ini mengedepankan clickbait daripada kualitas berita? Jawabannya ialah, dengan klik yang dilakukan pembaca, nantinya akan menjadi pemasukan bagi kebelangsungan sebuah media online. Fenomena clickbait disebabkan oleh adanya tuntutan bisnis baik redaktur maupun pemilik media. Clickbait diperlukan untuk menark perhatian pembaca agar traffic-nya menjadi tinggi (Frampton ,2015)

Pada sebuah berita yang dikemas dengan headline clickbait, nantinya akan membawa pembaca kepada iklan-iklan tertentu yang memang telah bekerjasama dengan media online. Di sinilah letak bikin ‘kzl’nya, Kadangkala, berita yang ingin dikonsumsi khalayak malah menjadi tidak terbaca karena hapir setiap teks berita ditutupi oleh iklan.

Tak hanya itu, jika pun memang ada ikon (x) atau close, yang kita harapkan dapat menutup iklan, malah membawa kita pada suatu tautan yang mengarah kepada website yang entah-berantah atau ‘ra mashok blaas’ . Sudah bersusah payah menghindari iklan, ternyata cobaan pembaca belum selesai, ketika berita habis dibaca, pesan pada berita seringkali tak masuk akal, tak cocok dengan headline yang ditawarkan. Bahayanya, kadangkala berita clickbait juga bisa mengarah ke hoaks, yang nantinya seringkali menimbulkan perselisihan paham di masyarakat.

Kasus pada foto sampul tulisan ini, ialah pemberitaan mengenai putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep. Melalui twitter pribadinya, Kaesang membagikan aktivitasnya, yang tengah belajar untuk mempersiapkan ujian. Cuitan itu pun dikomentari oleh Billy Boen yang merupakan seorang pengusaha. Billy menanggapi cuitan Kaesang dengan komentar “kok ngga lulus2?”. Komentar tesebut, kemudian ditanggapi Kaesang, dengan kalimat “SAYA KAN MASUK KE KULIAHNYA SUSAH , SAYANG KALO LULUS CEPAT”.

Melalui cuitan tersebut, entah ada angin segar darimana, kreatifitas redaksi detik.com, berinisiatif untuk menjadikan cuit-cuittaan tersebut sebagai produk jurnalistik alias sebuah berita ‘hot’. Selanjutnya, sebagai subjek yang dibicarakan, Kaesang memberikan respon atas pemberitaan tersebut. Putra bungsu Jokowi ini pun, menanggapi dengan cuitan “Saya gak ngerti @detikcom dapet info dari mana saya udah kuliah selama 6 taun. Udah gitu tempat saya kuliah juga salah lagi” kata Kaesang.

Tulisan tersebut pun ditanggapi oleh akun twitter Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Surabaya. Mereka menanggapi pemberitaan tersebut hanya sekadar memindahkan konten media sosial. AJI menganggap detik.com menghilangkan tahapan penting dalam jurnalisme, yaitu verifikasi dan konfirmasi. Dari berita tersebut, AJI memandang pemberitaan yang ditulis detik.com itu, tak ubahnya seperti media sosial bukan sebagai media massa.

Kembali kepada bahasan clickbait, penulis sebagai insan yang baru beberapa minggu ini redup dari dunia jurnalisme, sebetulnya mengetahui mengapa hal seperti itu bisa terjadi pada detik.com. Bukan hanya detik.com tapi juga media-media massa lainnya, yang saat ini dipatok sebagai sebuah perusahaan media, yang harus, wajib, kudu, fardhu untuk memproduksi berita yang mampu mengundang banyak klik dari pembaca,

Berdasarkan pengalaman penulis, seringkali masih penulis jumpai teman-teman wartawan yang saat proses peliputan atau penulisan, telah berupaya menulis headline berita yang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Namun apa daya, kami yang di lapangan atau kami yang di redaksi, harus mematuhi perubahan zaman yang mempengaruhi regulasi ketentuan perusahaan. Singkat kata, media butuh makan yang banyak untuk menggaji karyawan. Darimana media bisa makan? Ya dari iklan. Dari klik yang dengan tidak sengaja diklik pembaca.

Semua itu harus dikemas sedemikian cantik, lewat kemasan berbungkus clickbait. Selain itu redaksi juga kepentok situasi harus berlomba-lomba ‘paling banyak’ dalam meproduksi berita. Hal itu dilakukan agar ‘menyenangkan hati klien pemasang iklan dan konglomerat media’, page view dari pembaca bertambah.

Pada situasi ini, pembaca merupakan sasaran utama dalam pembahasan pada tulisan ini. Sebagai sesama pembaca yang juga sempat menggeluti diri sebagai seorang wartawan, penulis ingin mengajak khalayak di Indonesia agar stop meng-klik berita clickbait. Stop membagikan atau share berita yang tidak sesuai hakikat jurnalistik yakni, menyiarkan informasi, menghibur, mendidik dan mempengaruhi.

Penulis pun di sini ingin mengakui dosa, sebagai insan pers, penulis juga pernah memproduksi berita clickbait. Namun ini semua kembali lagi pada situasi yang telah penulis jabarkan.  Penulis juga cukup prihatin dengan keadaan saat ini, seakan-akan hanya wartawan yang mentah-mentah bersalah.
Daripada mengutuk fenomena media massa saat ini sebagai tersangka, bagaimana jika antara wartawan, penulis konten, jajaran redaksi media massa serta ‘klien iklan’ dan kepada seluruh pembaca khalayak Indonesia, agar kita semua berupaya dan bersinergi menciptakan kondisi jurnalisme yang ideal.

Tanamkan kepada diri kita, bahwa sebuah berita haruslah memuat tulisan atau konten yang berkualitas. Mulailah membaca secara perlahan, membaca dengan menyeluruh bukan hanya sepintas. Akhir dari situ, selanjutnya bisa kita mulai dengan menjadi pembaca dengan kritis.

Lantas bagaimana dengan ihwal tuntutan bisnis jurnalistik, yakni iklan yang kadang tampil di seluruh bagian layar dan menutupi teks berita? Penulis yang juga sering duduk sebagai khalayak, biasanya mengakali ‘iklan’ tersebut dengan sebuah aplikasi ads block, agar otomatis bisa memblok iklan. Tapi tentunya, redaksi juga perlu digaji bukan. Untuk hal itu, setidaknya bisa diupayakan dengan menampilkan iklan yang ‘halus dan sewajarnya’. Tak perlu menutupi seluruh bagian teks berita.

Clickbait tak benar-benar bisa kita hindarkan, namun menjadikannya tidak terlalu over clickbait bisa jadi suatu upaya untuk menciptakan konten berkualitas. Setidak-tidaknya, harus ada upaya pembuatan konten yang tidak meninggalkan ‘ruh’ jurnalistik. Singkat kata, buatlah berita atau konten yang bermanfaat  sesuai dengan ‘rayuan’ yang ditawarkan judul.

Dari langkah-langkah tersebut, tak hanya berita clickbait, kiranya hoaks yang kerap menciptakan perpecahan di antara kita, bisa saja kita hindari. Sekiranya dari hal yang seringkali dianggap remeh ini, keadaan pers Indonesia kemudian dapat kembali kepada sebuah makna hakiki bangsa pada Pancasila sila ke-3, yakni Persatuan Indonesia, tanpa over cllickbait diantara kita.

Kamis, 27 Juni 2019

Pak Muhadjir, Zonasi dan Komplek Perum yang Jalanannya Bikin Pusing

Soal PPDB ini, bikin sampai kebawa mimpi. Gara-gara berita zonasi terooos. Aku sampai mimpi dikejar-kejar humas Pemkot karena dia ga terima sama pemberitaanku soal PPDB. Padahal pekerjaanku sekarang cuma jadi,,, penonton youtube dan pembaca webtoon

Nah soal zonasi ini, bikin aku terkenang masa-masa pernah kerja di sekolah swasta. Dulu (kayaknya sampai sekarang  juga masih) Hampir tiap mau ajaran baru, gurunya resah. Akankah sekolahnya masih bisa bertahan. Sebab apa, di sana mereka dipatok sama ukuran rombongan belajar (rombel). Ingat laskar pelangi? Nah itu, si Bu  Mus (Cut Mini) kan sampai resah gitu, takut muridnya kurang. Di film itu SD Gantong Muhammadiyah (ya gak sih?) terancam ga bisa bertahan kalau ga bisa menuhin jumlah rombel.

Kejadian itu persis sama, dengan nasib sekolah swasta. Memang tak terelakkan sedihnya jika dijadikan pilihan kedua. Ya itu yang dirasakan sekolah swasta. Sampai udah nurunin harga diri bea formulir gratis, tanpa DP pendaftaran, pas ternyata si calon murid ini ternyata masuk negeri, dilepaslah swasta ini begitu saja. Sedih tau.

Belum lagi nasib guru-guru yang ngajar di swasta. Karena jumlah murid dikit, seringkali mereka kena sasaran dikurangi gajinya, uang transportnya, bahkan yang paling sakit hati, pemecatan.

Sejauh ini, di Tangerang belum ada yang panas-panas soal PPDB. (Semoga aja ga ada beneran). Kebijakan di sana mungkin bisa ditiru di beberapa wilayah yang 'diamuk' sama orang tua murid karena kelelahan sama sistem zonasi.

Kali ini cukup sepakat sih sama omongan Muhadjir soal "mengapa pemerintah menerapkan sistem zonasi". Kenapa sepakat?

Muhadjir bersabda, "Dengan adanya sistem zonasi, Mendikbud berharap kualitas pendidikan setiap sekolah itu sama. Tidak ada ketimpangan dengan stigma sekolah favorit dan tidak favorit. Tujuan sistem zonasi, terang dia, ialah menghilangkan dikotomi antara sekolah favorit dan nonfavorit. Menghilangkan eksklusivitas dan diskriminasi sekolah. Berupaya menjadikan semua sekolah sama baiknya dari Sabang sampai Merauke. Khususnya sekolah negeri,". Gitu wahai ibu-ibu... Tah dengekan bapak-bapak.

Saya pun pernah merasakan, muaknya sebuah sistem PPDB. Dulu tuh, hayati sebel uang orang kabupaten dari ujung mana, eh bisa sekolah di kota. Bahkan sepengamatan dua bola mata ini, isi sekolah yang untuk anak negeri itu, yang biayanya gratis itu, sekolahnya diisi sama anak-anak elite. Kalau di Tangerang mah, anak-anak perum egeh. Yang rumahnya pada bagus-bagus. Yang jalanan rumahnya udah dari jaman baheula udah dikonblok. Iya, perum yang jalanan rumahnya bikin pusing itu loh.

Dulu, di SMP tempat saya daftar, pas lagi ngecek hasil seleksi atas diri saya. Sebelum pengumuman, saya jelajahi website sekolah itu. Di sana pun saya temui sebuah hal menjengkelkan. Dengan tidak malunya, website itu majang kanal, bangku kosong. Aku yang waktu itu masih kecil, suci dan polos, engehnya bangku kosong itu maksudnya kayak di film bangku kosong. Pokoknya dulu pikiran soal itu cuma bangku horor aja. Gak pikir panjang pokoknya. Jiwa julidku belum lahir saat itu. Setelah sadar. Aku cuma. Ya Tuhan, mohon ampun atas segala dosa selama ini, aku tak paham apa itu bangku kosong.

Jadi, kebijakan di Tangerang  yang ada saat ini, mungkin  bisa dicoba daerah lain, yang sedang 'runyam' soal zonasi ini. Dia ga nerapin merger sih, tapi nerapin kebijakan SMP gratis buat negeri atau pun swasta. Sebetulnya, selain itu, perlu juga pengarahan  penyadaran untuk seluruh kaum orang tua di muka bumi Indonesia ini. Sekolah swasta ga senista itu, jangan jadiin anak-anak sebagai korban ambisi. Jangan jadiin anak-anak alasan untuk kalian biar eksistensi untuk unjuk gigi kepada tetangga "Anakku mah sekolah di sekolah favorit bla bla bla,". Stop riya' berkedok pendidikan terbaik untuk anak. Pak Muhadjir, tumben loh kali ini aku sepakat sama kamu. Mwah.

Kamis, 30 Mei 2019

Sementara kita di sana-sini


Sementara kita masih menapaki  tanya yang sama

Sementara kita masih pada kebingungan yang tak jauh berbeda

Sementara kita tak pernah usai menjajaki rute yang ruwet

Sementara di sana ada takdir yang nyata

Sementara di sini kita dianjurkan untuk mengindahkan suatu kepasrahan

Sementara di sana sudah dijanjikan

Sementara ini akan berubah menjadi ketetapan yang tak'kan salah hitungan


Sabtu, 15 Desember 2018

Untuk Hidup 'Dianggap' Sarjana

Menjadi guru bukan sekedar A B C dan 1 2 3... - The Teachers Diary 2014
.
.
.
Blog ini macam rumah angker. Penghuninya terlalu banyak menghabiskan waktu tanpa mengabadikan hari-harinya lewat kata. Aku kembali Roo.. apakah kini aku sudah menjadi Flo? Belum, aku belum tahu. Mari ku ceritakan padamu, hidupku saat ini dan sejak bertahun-tahun kemarin.
.
.
.
Aku Anggun Tifani, telah banyak melalului hidupnya dengan banyak bekerja keras. Tak kusangka kegagalanku yang tak dapat berkuliah di PTN membawaku sejauh ini. Semester dua, aku bekerja sebagai admin di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang kuliner. Yep, masih di Kota Tangerang. Bukan tempatku lahir, tapi merupakan tempatku ditempa sebagai manusia Anggun Tifani. Aku bekerja sebagai admin di semester 2. Memilih sebuah PTS yang tak begitu populer, mengharuskanku untuk bertahan menjadi mahasiswa, yang berjanji kepada orangtuanya bahwa kuliah, tak akan menjadikan pengeluaran mereka makin susah.

Pasca gagal SBMPTN, aku memaksa dan meminta agar orangtuaku mengizinkanku untuk kuliah. Disitupula aku berjanji, bahwa aku akan kuliah sambil bekerja.

Saat hari pertama kuliah, ku dapati temanku telah banyak yang menyambi bekerja di tempat-tempat yang dengan jabatan yang bagiku cukup parlente. Sementara aku saat itu masih pengangguran. Saat itu aku bertekad, bahwa aku harus mempunyai jabatan yang 'lumayan baik' ketika aku bekerja. Syukurlah, ku dapatkan pekerjaan sesuai bidang keilmuanku saat SMK. Senang rasanya mendapatakan perkerjaan sebagai admin, sebab aku kala itu bersaing dengan orang-orang yang sudah bergelar sarjana. Aku mendapatkan perusahaan yang begitu baik, mereka mendukung kegiatan perkuliahanku dengan mempekerjakan aku sebagai pekerja paruh waktu. Namun begitu aku mendapatakan gaji yang hampir setara dengan karyawan pada umumnya. Sayangnya langkahku harus terhenti saat aku begitu merasa seperti "Manekin Cantik". Aku bosan, dengan kegiatanku yang hanya sibuk menatap laptop, melakukan panggilan telepon, dan pekerjaan administrasi lainnya. Dulu memang aku enggan dengan jurusanku yang saat SMK dipilihkan oleh orangtuaku. Maka itu akhirnya, aku mengambil kuliah komunikasi. Untungya perjodohanku dengan jurusan komunikasi lancar. Maka berlawananlah saat itu pribadiku dengan pekerjaanku sebagai admin. Aku memutuskan keluar, sebab aku seringkali menangis karena batinku selalu berteriak. Lebih-lebih ketika aku telah mendapatkan seragam. Memang di kantorku saat itu, penggunaan seragam dianjurkan agar seperti tak ada sekat identitas pembeda antara pihak manajemen dengan pihak restoran. Sayangnya, seragam yang ada benar-benar tidak cocok dengan ke-aku-anku. Seragam yang ada membuat lekuk tubuh menjadi sangat nampak. Tubuhku jauh dari kata 'standard of beauty', tapi keyakinanku pada diriku menolak tata tertib itu. Aku tidak bisa menerimanya. Bahkan saat itu ada yang meledekku, dianggapnya aku tidak dewasa karena tak tau kewajiban dalam bekerja adalah mengikuti aturannya. Ya aku tahu, hanya saja untuk peraturan berseragam itu aku tidak bisa melawan keyakinanku soal caraku berpakaian. Oh ya soal mengapa aku masih bertahan dari awal, bahkan setelah aku tahu peraturan berseragam di sana. itu karena, aku butuh 'honor'nya, setidaknya untuk tabungan biaya semesterku. Aku memang naif. Hahaha. Terimakasih Mba Yuni dan Pak Yan

Pasca itu, aku menganggur, lantas mengingat cita-citaku saat kecil, yaitu menjadi seorang guru.
.
.
.
Liburan semester 3, aku gunakan waktu mengaggurku sebagai pencaker. Tak ada lamaran yang tembus. Lalu pada tahun ajaran baru tepatnya saat tahun ajaran 2015/2016, aku nekat melamar kerja di sebuah sekolah swata yang tak jauh dari kontrakan tempatku tinggal saat aku masih bersama mamak dan adikku di Tangerang. Setiap melamar kerja dengan cara datang langsung ke tempat yang dituju, aku selalu menunjukkan bakat sombongku. Seperti ini

Aku : Assalamualaikum Pak
Petugas piket : Waalaikumsalam, ada apa ya bu?
Aku : Bisa aya bertemu dengan kepala sekolahnya pak?
Petugas piket: Ada keperluan apa ya bu?
Aku : Saya mau melamar pekerjaan pak
Petugas piket: Sebentar ya bu

Dari percakapan itu, aku bertahan satu tahun ajaran dengan bekerja sebagai bendahara sekolah. Memang tidak bisa menjadi guru, tapi aku seringkali curi-curi kesempatan untuk mengambil jam kosong guru yang sedang tak bisa hadir dan sok-sokan mengajar di kelas. Bagian yang paling ku senangi adalah, aku seringkali bisa berbagi pengalamanku dengan mereka. Anak-anakku, Banyak hal menarik di sekolah itu, Saat tiap mau menghadaoi ujian smester ada saja orang tua yang memohon kepadaku agar anaknya dapat diberikan keringanan dan diperbolehkan untuk mengikuti ujian. Kadangkala ada yang sampai menangis  memohon kepadaku. Aku tidak bisa menuruti semuanya, yang ku bisa hanyalah mengakali bagaimana caranya anak-anak mereka yang belum melunasi pembayaran SPP, dengan cara membujuk kepala sekolah dan membuat perjanjian batas pembayaran. Aku juga mulai mendata mana murid yang layak mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah. Aku kunjungi rumah mereka yang menjadi kandidatnya. Aku pahami juga anak-anak yang menjadi kandidat, adakah diantara mereka memang patut dan layak untuk mendapatkan bantuan. Persyaratan yang ku gariskan mudah saja, asal mereka rajin berangkat sekolah dan tak terlalu berulah. Ah itu adalah hari-hari yang berharga. Aku merindukan momen-momen itu. Bahkan baru-baru ini, Hari Guru tahun 2018, aku dikontak salah satu diantara mereka, Aku yang sudah tak dapat bekerja di sekolah, mendapatkan ucapan Selamat Hari Guru darinya dia mengirimnya lewat whatsapp setelah sebelumya, dia menyapaku lewat instagram yng jarang sekali ku buka. Begini sapanya padaku... https://www.instagram.com/p/BjHhqrnl0ic/ Terimakasih anak-anakku, Bu Farida, Bu Mirda, Bu Intan dan semuanya... laf

Kemudian semester berikutnya, Agustus 2016. Aku berpisah dengan keluargaku. Mamak dan Dwiki menyusul Bapak yang telah lebih dulu tinggal di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah. Ini salah satu tahun yang berat. Selain aku harus berpisah, aku juga dihadapkan dengan pemilihan konsentrasi jurusan. Aku sebelumnya mengambil kuliah kelas sore, agar paginya aku bisa bekerja. Terpentok pada situasi dan kondisi seperti itu, membuat ku harus berpikir keras. Sebab konsentrasi jurusan yang aku mau, hanya membuka kelas pagi. Itulah yang menyebabkanku akhirnya melepas kesenanganku bekerja di sekolah kala itu. Aku berpikir, jarang ada perusahaan atau tempat bekerja yang aktif pada malam hari, kecuali bekerja di sebuah restoran atau paling kasar yang ku pikirkan adalah bekerja sebagai pelacur. Jelas untuk opsi terakhir itu aku blacklist. Itu pikiran konyol. Lalu aku teringat dengan pamanku yang membuka warung pecel lele, saat itu istrinya sedang hamil dan dirawat oleh mertua pamanku di kampungnya, Kediri. Ku bujuk mamak agar menawarkanku pada Paman yang kupanggil Le' Syafi'i. Selanjutnya ku lewati hari-hariku dengan tinggal sebagai anak rantau yang mengekos sambil bekerja membantu Le' berdagang, selama hingga lebaran dengan bekerja membantu Le' sampai sekitar Juli 2017. Terimakasih le'

November 2017
Aku beranikan diriku mengambil sebuah peluang lowongan kerja di sebuah koran lokal. Saat itu aku datang melamar pekerjaan di tempat itu dengan diantar oleh salah seorang kawanku. Tiap proses rekrutmen pegawai aku lewati, aku bekerja sebagai seorang Wartawan lingkup wilayah Kota Tangerang. Senangnya aku, ini juga pekerjaan impianku. Keinginanku menjadi wartawan makin timbul, sesaat setelah berdiskusi dengan seorang kawanku. Aku pikir benar, wartawan adalah seorang guru pula, guru dari segala informasi. Aku semangat bekerja. Aku senang impianku nyata adanya. Seperti kata Pramoedya Nanta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dewasa... Tidak ada sebuah tanggung jawab yang berjalan mudah tanpa sandungan. Aku dihadapi dengan ritme kerja yang menguras tiap hariku. Hidupku saat itu seperti hanya untuk bekerja. Kuliahku berantakan. Aku cukup sering izin karena mesti liputan menyelesaikan tugas dari kantor. IP-ku turun. Aku bukan bekerja sambil kuliah. Sudah ku tetapkan sejak awal, aku adalah puan yang kuliah sambil bekerja. Belum lagi hubungan jarak jauhku dengan keluargaku juga menjadi berantakan kala itu. Sebatas melakukan panggilan telepon rasanya sangat sulit saat itu. Terlebih aku akan segera dihadapkan dengan tugas penulisan skripsi. Aku pilih pergi. Terlebih ketika adikku memberitahu tentang Mamak yang kadangkala menangis saat panggilan telerpon darinya aku tolak, sebab aku sibuk bekerja. Ku pilih pergi. Anggap aku lebay, sumpah ditempat ini aku banyak ditempa layaknya seorang wartawan yang harus bertanggung jawab menyajikan tulisan yang baik untuk pembacanya. Terimakasih Pak Haji Agung, Pak Ipul, Pak Indra dan Mba Icha... laf

(This song)
https://www.youtube.com/watch?v=unNQ7cyFnNo&index=3&list=RDhxmoEvlOwEw

Maret 2018

Aku resign mulu ya ahhah, setelah itu aku bekerja di media online kepunyaan dosenku, dia baik sekali. Kerja di media online lokal cukup santai, aku bisa menyambi skripsiku pula. Bosku pun pengertian, dia tahu aku yang merupakan mahasiswanya harus juga konsentrasi pada skripsiku. Aku tak bisa melanjutkannya, karena satu dan lain hal. Tapi tetap, Pak Ukon, terimakasih atas segala bantuanmu..

Juni 2018
Selanjutnya, aku mendapatkan kesempatan bekerja di media online nasional. Hingga kini, sudah berjalan 6 bulan lamanya. Aku mempunyai atasan yang lagi-lagi super baik. Syukurlah belum pernah aku dalam bekerja memiliki atasan yang bossy. Belum genap bulan pertama aku bekerja di tempat ini, aku lulus skripsi hasilnya pun lumayan memuaskan. 3 November 2018, aku lulus kuliah. Kata Mamak, Bapak terus-menerus menangis sepanjang prosesi wisuda. Mungkin dia ingat selama ini kami semua bersinergi untuk selalu menjadi keluarga pekerja keras. Tak bisa  ku elak, meski aku bekerja, aku tetap membutuhkan suntikan dana untuk biaya hidup di sini. Sebetulnya kadang cukup dari gajiku, tapi memang adakalanya pula aku kekurangan dana. Maka dari itu, selama aku benar-benar jadi anak rantau aku mendapatkan kiriman bulanan dari mereka. Pasti dalam tangis bapak, bapak teringat saat-saat dia mesti mendorong gerobak sotonya mesti panas maupun hujan. Bapak tak pernah alpa dari tugasnya sebagai kepala keluarga. Bapak pekerja keras, Mamak yang penyayang dan lembut hatinya serta Dwiki yang rajin juga tekun beribadah adalah keluargaku yang sudah menemukan maknanya masing-masing. Aku kuat karena mereka. Oh ya tak lupa juga teman-temanku yang kusayangi. Tiwi, Sistiya, Kak Amanah, Mia, Nurul, Uzi, Sovi, Ira, Isty, Nida, Lisa, Irfan, Ai, Maya, Harnis, Kak Uwi,Tifa, Chyntia dan semuanya di kehidupanku sebagai Anggun Tifani hingga saat ini. Laf..

https://www.youtube.com/watch?v=8zPohxqf9uU&list=RDhxmoEvlOwEw&index=12

Sekarang kembali pada ungkapan pertama di tulisan awal, aku bukan pribadi yang tak konsisten. Sebenarnya, pemahamanku atas diriku adalah... impianku... ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. Terdengar naif memang. Tapi aku ingin itu jadi nyata. Menjadi mahasiswa, guru dan jurnalis dari  segi tugas dan kewajibannya memang berbeda. Jika dipahami lagi apapun itu pergerakan kita sebagai insani, pastilah ada pertimbangan dari Illahi. Tidak akan kita diciptakan sebagai pribadi tanpa jati diri. Dia tak akan ingkar janji pada hamba-Nya yang giat mencari, lari untuk mimpi yang paling berani sebagai sang manusia yang manusiawi.





Jumat, 09 Februari 2018

Mencerna Logika Fana


Anita belum bisa pulang dari kantor? Udah makan belum?
-send to Anita-

Aku selalu resah bila sudah jamnya pulang kantor tapi anakku belum juga kunjung pulang. Anita adalah anak semata wayangku. Ia kebanggaanku, kesayanganku, segalanya bagiku. Sudah genap enam tahun ia menjalankan bisnisnya sebagai pengusaha kue-kue pastry. Terwujudlah keinginannya, menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Dia jelas jauh berbeda dengan aku, ibunya. Aku orang tua tunggal, tak pandai memasak seperti Anita. Ia mendapatkan bakat masaknya berkat ketekunannya dalam surfing mengenai pastry dari internet. Ya hanya dari internet.

Anita Calling…

“Assalamualaikum Ma aku sudah makan. Ini aku sedang dalam perjalanan,” kata anakku sebelum aku menjawab salamnya lewat ponsel.
“Yaudah ini masih di mana?”
“Aku udah di parkiran nih, mama mau aku bawain yang manis-manis atau yang gurih?”
“Mama mau kamu pulang cepat, istirahat, penuhi hak tubuhmu,”
“Siap kapten! Wassalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
-
Tiba di rumah aku terkaget, Anita langsung memelukku erat dari belakang. Entahlah, firasatku buruk soal pelukan ini.
“Ma aku sudah serahkan operasional toko pada Rina. Dia kepercayaanku. Nanti hasil penjualan akan tetap mengalir ke kita kok,”
“Hey, ada apa? Kenapa tiba-tiba?”
Anita kini berangsur duduk di sebelah sofa yang juga aku duduki.
“Nggak tiba-tiba kok Ma. Ingat waktu aku masih kelas 5 SD. Mama bacain aku cerita tentang negeri Kalinonya. Ya Aku mau kesana! Yeay!”
Aku terdiam,ada bingung bercampur geram terangkai dalam emosiku.
“Kalinonya itu khayalan An. Apa-apaan sih kamu ini.. Itu kan cuma dongeng, kamu mau cari apa? Dewa Kebajikan? Itu Cuma khayalan. Sama kaya mitologi dewa-dewi Olympus,”
“Nah kan pasti Mama respon begitu, Aku Dewi Surfing Maya Ma…. Aku udah searching selama 10 tahun lamanya, dan Mama tahu apa? Betul daerah itu ada di sekitar Selandia Baru,”

Aku masih mencerna. Aku menyesal dan mengutuk diriku akan kegiatan yang sering kami lakukan sebelum menjelang tidur. Dia memang Anita ku yang kekanak-kanakan. Tapi aku tak menyangka, ukuran realistis dia sebagai seorang wirausaha, ternyata itu semua hanya kamuflase penanganan diri yang dilakukan olehnya. Soal ini, berimajinasi, baru benar, bakatku menurun padanya. Tapi aku tak menyangka anakku segila ini. Anita masih diam memelototkan matanya, menunggu aku merespon ujaran gilanya.

“Mama ikut!” ujarku geram.
“Tidak, aku mau lihat dulu itu benar apa nggak. Nanti kalau benar aku ajak Mama kesana, okay. Besok aku berangkat, aku siap-siap dulu” Anita berkata sambil berlalu menuju kamarnya. Aku mengekor.

“Anita!” Ini adalah kemarahanku yang telah lama ku pendam semenjak perceraianku dengan Ayahnya Anita. Aku tak mau menyakitinya semenjak kejadian itu. Untungnya Anita bisa diajak bekerja sama. Dia memang tidak nakal atau pun berperilaku merugikan. Tapi ini adalah hal gila, aku berhak merah. Aku menyesal menjejalinya cerita-cerita dongeng keparat itu. Anita menghentikan langkahnya, berbalik ke arahku yang berada mengekor di belakangnya.
“Iya ma,” kata Anita nampak kaget. Jelas ini kemarahan pertamaku setelah kejadian miris itu.
“Mama pokoknya ikut! Lagian kamu ini gimana sih, itu cuma dongeng An kok kamu bisa bersikap seimpulsif ini sih,”
“Ma kalau pun mama ikut, itu bakal kepontang-panting keman-mana. Nggak jelas. Nanti kalau Kalinonya udah aku temuin, baru deh aku kontak Mama. Aku janji,”
“Nggak pokoknya. Mama mau ikut,”
“Nggak, aku larang. Mama kan alergi dingin, ke Bogor aja nggak kuat,”
Aku berpikir, betul juga. Entahlah aku selalu berpikir, aku harus sehat agar bisa hidup lebih lama dengan Anita. Alasannya aku terima, aku mengijinkannya. Dengan syarat…
“Kamu harus terus kontak Mama”
“Okay. Aku sayang Mama,” Anita mencium pipiku dan segera pergi ke kamarnya.
-
Kalinonya adalah dongeng karya penulis Armenia. Aku memang memiliki bnyak memiliki koleksi buku-buku tejemahan. Hampir tiap malam aku membacakan dongeng unuk anita. Aku menyukai aktivitas tersebut begitupun dengan Anita. Dalam dongeng yang aku bacakan untuk Anita, Kalinonya adalah sebuah negara yang dipimpin langsung oleh dewa kebajikan. Dalam cerita itu, Kalinonya diceritakan sebagai negara yang sangat makmur, rakyatnya hidup bahagia, negrinya indah, tidak ada kesedihan. Alam, hewan dan tumbuhan hidup berdampingan dengan rukun. Itu semua berkat dewa kebajikan. Di Kalinonya tidak boleh ada yang berbohong namun tanpa larangan tersebutpun rakyat Kalinonya memang sudah menjiwai hidup dengan jujur. 

Dewa Kebajikan begitu dicintai oleh rakyatnya, tampangnya yang rupawan. Membuat rakyatnya tak mampu menatapnya lebih lama. Namun yang terpenting adalah, Dewa Kebajikan selalu bersikap bijak. Dewa Kebajikan juga selalu berdiskusi dengan alam, hewan dan tumbuhan. Dewa kebajikan telah membagi-bagi pekerjaan rakyatnya dengan sangat cermat. Ada yang sebagai pengelola pertukaran barang dan jasa, ada yang berternak, ada yang berkebun, melaut  dan tukang masak serta pekerjaan lainnya sudah ditentukan berdasarkan perkiraan dari dewa kebajikan yang tak pernah meleset. 

Sebentar tukang masak? Aku baru ingat, di cerita tersebut ada seorang tukang masak yang selalu setia melayani Dewa Kebajikan. Dia adalah tukang masak jenis pastry. Astaga mengapa aku baru menyadarinya.

“Anita ada yang ingin aku tanyakan, apa kamu jatuh cinta dengan Dewa Kebajikan?” kataku sebelum melepas Anita untuk naik ke pesaawat, menuju ke Selandia Baru.
“Iya Ma,”
Aku termangu. Terperangah, seakan-akan ada petir menyambar diriku. Sial, aku tidak mengenal anakku sendiri. Aku merasa beribu-ribu menyesal telah menjejali anakku dengan dongeng-dongeng omong kosong itu.
“Aku pergi Ma, pesawatku sudah akan berangkat,”
“KAMU GILA AN! GILA!”
Anita ternyata ‘batu’ seperti diriku. Dia pergi berlari kencang menuju ke pesawatnya, sedang aku ditahan oleh petugas bagian tiket karena tidak bisa menunjukkan tiketku. Dan dianggap gila karena suadah bereriak-teriak memanggil Anita sekencang yang aku bisa.

Pada dongeng tersebut Dewa Kebajikan memang tidak pernah beristri. Sampai suatu saat ia menemukan salah satu juru masaknya, yang ia ketahui bernama Ann. Dewa Kebajikan menyukai semua pastry yang dibuat Ann. Sayangnya entah karena apa. Ann tiba-tiba menghilang saat dia akan diperistri oleh Dewa Kebajikan. 

Ada seorang pemberontak yang telah lama Dewa Kebajikan kurung di dalam Gunung Alcia. Pemberontak tersebut membenci kehidupan, Kalinonya yang seakan tiada warna. Baginya kebahagiaan di Kalinonya adalah sebuah kesalahan. Ia memberontak dengan cara mempengaruhi Rakyat Kalinonya agar mereka mau berbohong satu sama lain, dalam bersikap maupun bekerja. Sebelum pemberontak tersebut bertindak lebih jauh, Dewa Kebajikan segera menangkap pemberontak itu. Sebelum itu, pemberontak tersebut mengutuk Dewa Kebajikan, bagi siapa pun wanita yang ia cintai. Maka di hari pernikahannya, wanita tersebut akan hilang. 

Dewa Kebajikan pikir hal tersebut sudah tidak akan berlaku, megingat pemberontak tersebut telah terkubur di Gunung Alcia selama hampir ribuan tahun lamanya. Yang Dewa Kebajikan ingat adalah, pemberontak itu sempat mengatakan, Ann yang ia cintai baru akan lahir kembali di dunia baru. Hal tersebut berlaku karena di dalam keyakinan Kalinonya, kutukan akan termaafkan jika sudah masuk dalam tahun yang ke 8789 tahun di hari ke-62. Jadi inikah waktunya, mengapa bisa anak dari rahimku merupakan Ann?

.
.
.

Anita masih kontak denganku, sampai 7 bulan lamanya. Lepas itu, dia hilang. Aku pergi ke Selandia Baru meratapi, mencari Anitaku. Terlepas dari dongeng Kalinonya. Aku berpikir, Anita memang kabur karena muak hidup denganku. Tapi dari sisi manakah kesalahanku? Aku menyayanginya. Dia juga terlihat menyayangiku.
Piiiiip…
Bel pintu rumahku mengagetkanku.
Ada kurir?
“Benar ini rumah Ibu Rima Wijaya Kusuma?”
“Iya, dengan saya sendiri,”
“Silahkan tanda tangan tanda terimanya Bu Rima,”
Aku segera menanda tanganinya. Di bagian surat tersebut, tertulis surat itu tertuju dari Kalinonya. Aku sakit kepala. Aku seorang guru IPS, cukup paham sejarah dan geografi. Tak pernah kutemukan di bagian dunia mana pun ada negara bernama Kalinonya. Sebentar ini dari,,, Benar ini dari Anita ku. Ketika ku buka,aku melihatnya undangan pernikahan dan sepucuk surat rindu. Aku mencerna semua ketidak masuk akalan ini.



Jumat, 07 Oktober 2016

Sendu Rindu Perantau

Sendu Rindu  Perantau

Kerinduanku yang terlalu bertalu
Ranah lebih keras
Daya yang kini harus lebih ku agungkan
Oh rindu perantau...

Kini semua ruang lebih nyata
Tanpa payung sayang dari Mamak
Insan ini harus lebih berani
Merekam segala jejak dengan menerka
Oh rindu perantau...

Terbahak atas sambungan telepon yang kami lakukan
Kini warna menjadi lebih warni

Tergambar kehilanganku atas rutin yang dulu

Oh rindu perantau...

Rabu, 05 Oktober 2016

Soal Nyari-nyari

Akhir- akhir ini, tepatnya semenjak saya menjdi mahasiswa. Ada banyak pencarian yang ‘agak’ konyol yang saya cari tau. Jurusan kuliah yang saya pilih membawa saya pada setiap keingin tahuan yang semakin besar tentang persoalan pusaran idealisme. Kompleksitas pencarian saya makin dalam saat saya mengikuti salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus tempat saya bernaung ilmu.

Ada banyak kewajiban yang harus saya lalui sebelum saya benar-benar menjadi ‘insan’ yang sesuai dengan UKM yang saya ikuti, yaitu pelatihan. Saat masa pelatihan ada sebuah materi dimana saya dan teman-teman saya diarahkan agar berpikir kritis. Materialisme Dialetika Historis. Tuhan! Materi macam apa ini! Saya tidak dapat meraihnya! Pusing!.

Ampuni saya! Saya bukan hanya meyerap apa yang disampaikan dalam materi tersebut.  Saya ikut tenggelam untuk mempertanyakan, siapa dia(laki-laki)?. Yep otak saya dipenuhi dengan pertanyaan  soal identitas pemateri yang menyampaikan materi ini. Lebih-lebih saya merasa tidak pernah melihatnya di kampus saya. Sudah seperti automatically system bagi diri saya untuk menerka siapa lawan interaksi saya dengan cukup mendalam.

 Yah ini persoalan kesan pertama untuk keberlanjutan interaksi sosial yang akan saya jalin dengan anggota UKM yang saya ikuti.  Setelah mengikuti segala macam’ ritual’ keanggotaan baru. Resmilah kehidupan saya berputar pada jaring perkuliahan, pekerjaan dan keorganisasian.

 Jangan lupa saya masih ‘kasmaran’ dengan sosok itu. Oh hey! Tak saya pungkiri bahwa pesona retorikanya cukup mumpuni! Tapi ya saya masih menimbang, mengambang pada batas rasa penasaran, untuk apa segala yang telah ia lakukan sampai sejauh ini?  

Setelah berteman atau selintas kenal dengan insan-insan organisator internal maupun organisator eksternal di kalangan kampus. Beberapa diantara mereka banyak yang kurang bisa mengatur waktunya untuk tetap aktif berkuliah. Beberapa diantara mereka, seringkali absen kuliah. Beberapa diantara mereka, membuat diri saya menciptakan spekulasi bahwa mereka sudah terlena dengan formalitas yang seharusnya. Perkuliahan. Dari situlah saya bertanya-tanya, untuk apa mereka sampai seperti itu?.

Jaring ini membawa saya pada pengertian bahwa keanggotaan kita dalam dalam suatu , naluriah karena kita selalu butuh pengakuan. Hal ini jugalah senada di-amin-kan oleh Abraham Maslow.  Semacam kebutuhan menyadari dahaga. Pengakuan atau eksistensi begitu dipuja macam kebutuhan pokok manusia. Mahasiswa apatis dan mahasiswa aktif organisasi jelaslah sangat berbeda karakternya. 

Fenomena yang saya tangkap dari mereka yang aktif berorganisasi adalah ingin ‘famous’, ingin mencari pengalaman dengan sekedar mengisi waktu luang dan yang lebih kurang berpendirian adalah fenomena followers (‘ikut-ikutan’ teman).

Makin dalam saya menyelami lingkungan baru saya. Aduh makin besar tanya yang tergantung di otak saya. Terlebih organisasi yang saya ikuti mengharuskan para anggotanya untuk berpikir kritis. Pers kampus.

Keadaan ini membawa saya pada jaringan pertemanan yang lebih luas. Kini saya tiba dimana saya benar-benar "sungguh mati aku jadi penasaran". Kiprah yang mereka lakukan kadang tak sebatas 'ngopi bareng' atau diskusi seputar perkuliahan. Yah sudah sewajarnya memang bilamana kita sebagai mahasiswa menjalankan fungsi mahasiswa sebagaimana mestinya. Tapi perlakuan saling 'gesek', dendam kesumat, adu mulut (yang bagi saya kurang berarti dan lain-lain yang diluar nalar mahasiswa apatis, mereka lakukan adalah untuk apa?.

Terkhususfenomena mahasiswa abadi. Pasti pemandangan seperti itu suda tak asing lagi di sekitar kelas Universitas. Ada satu jawaban terurai dari mulut salah seorang senior MA yang saya kenal (syukurlah kali ini, tahun ini dia wisuda^^) ia bersabda bahwa ia adalah penikmat ilmu. Anggaplah masuk akal. Sudahlah anggaplah seperti itu. Sebab apa?

Sebab salah satu fans saya, pernah pula saya ajukan pertanyaan macem itu, " Untuk apa lu sampai sejauh ini?"begini persis obrolan kami :

Buat apa sampe harus sejauh ini? Gue tuh ga ngerti muara kalian yang sampe sejauh ini, itu untuk apa. Oke gue cetek. Dan oke gue bakal tanya. Kenapa lu ikut HMI?

Ya gue tau Kalla dan beberapa petinggi negeri banyak yang dulunya HMI atau GMNI atau bla bla bla.

Kalo gue nganggepnya ini buat biar kalian bisa masuk parpol apa salah?

-Centang biru menandakan bahwa ia telah membaca pesan saya-

HMI himpunan mahasiswa Islam..
Setiap kader mempunyai tujuan yg berbeda beda.. tapi HMI bergerak salah satunya berdasarkan independensi nya dan ada tingkat tingkatannya.. gua disini belajar mencari ilmu sebanyak banyaknya selagi gua muda dan sebagai mahasiswa..
Ga ada kaitannya dengan parpol, Jusuf kala itu hanya alumni itu hak mereka jika memang ingin masuk parpol dan masih banyak yg lainnya.

---Maaf saya tidak bisa menunjukan semua rekam pesannya, dikarenakan ada urusan hati yang ia siratkan dalam obrolan tersebut---

Sampailah saya pada suatu kesimpulan. Baik tingkat pelajar atau mahasiswa. Umur kami membawa kami ke dalam banyak pencarian. Apa yang saya tulis juga merupakan salah satunya kan? Dan! Kini setelah tentang segala pencarian saya. Ada tiga hal baru yang saya tahu tentang dunia ini.

1. Jalan yangbenar
2. Jalan yang salah
3. Jalan yang pantas


Baiklah. Persoalan laki-laki pemateri itu? Yang saya tahu dia adalah sama seperti seorang pencari. Kabarnya ia sedang membuat pergerakan. Dia berada di jalan mana? Ia berada di jalan yang ia yakini entah salah, benar atau pantas?. Kita selalu berjalan diatas keyakinan bukan?. Tulisan ini terkesan apatis. Perkenalkan, saya mahasiswa apatis yang sedang berusaha kritis.