Kian hari banyak masyarakat di
Indonesia yang mengeluhkan kinerja wartawan. Keluh masyarakat sejauh ini
menjurus kepada fenomena pemberitaan, yang dikemas dengan bungkus clickbait headline. Strategi pengemasan
berita dengan penggunaan clickbait
headline atau umpan klik judul, dibuat sedemikian rupa untuk meningkatkan traffic pembaca. Adanya clickbait pada era pemberitaan media
massa saat ini, diharapkan dapat mengundang khalayak agar lebih tertarik dengan
berita yang disajikan.
George Loweinstein (1994) dalam
teori curiosity gap menyatakan, celah
informasi yang disebabkan oleh rasa penasaran membuat pembaca ingin mendapatkan
kejelasan dan mengurangi ketidak pastian. Hal inilah yang menjadi motif
universal pembaca untuk mengakuisisi suatu informasi dalam suatu artikel yang
menggunakan clickbait headline (Rizky
Kertanegara, 2018).
Teori curiosity gap menyebutkan, bahwa emosional seseorang dapat
terpengaruh tanpa kita sadari. Ketika emosional seseorang telah terpengaruhi,
seseorang akan secara tidak sadar akan membuka judul clickbait yang dibaca
sekilas, cukup menarik perhatian. Saat seseorang membukanya karena terdapat
rasa penasaran ketika membaca judul, yang terjadi kemudian adalah orang tersebut
akan sadar bahwa isi dari berita tersebut tidaklah penting.
Apa yang menyebabkan media
pemberitaan kita, khususnya media online saat ini mengedepankan clickbait daripada kualitas berita?
Jawabannya ialah, dengan klik yang dilakukan pembaca, nantinya akan menjadi
pemasukan bagi kebelangsungan sebuah media online. Fenomena clickbait disebabkan oleh adanya
tuntutan bisnis baik redaktur maupun pemilik media. Clickbait diperlukan untuk menark perhatian pembaca agar
traffic-nya menjadi tinggi (Frampton ,2015)
Pada sebuah berita yang dikemas
dengan headline clickbait, nantinya
akan membawa pembaca kepada iklan-iklan tertentu yang memang telah bekerjasama
dengan media online. Di sinilah letak bikin ‘kzl’nya, Kadangkala, berita yang
ingin dikonsumsi khalayak malah menjadi tidak terbaca karena hapir setiap teks
berita ditutupi oleh iklan.
Tak hanya itu, jika pun memang
ada ikon (x) atau close, yang kita
harapkan dapat menutup iklan, malah membawa kita pada suatu tautan yang
mengarah kepada website yang entah-berantah atau ‘ra mashok blaas’ . Sudah bersusah payah menghindari iklan,
ternyata cobaan pembaca belum selesai, ketika berita habis dibaca, pesan pada
berita seringkali tak masuk akal, tak cocok dengan headline yang ditawarkan. Bahayanya, kadangkala berita clickbait juga bisa mengarah ke hoaks, yang
nantinya seringkali menimbulkan perselisihan paham di masyarakat.
Kasus pada foto sampul tulisan
ini, ialah pemberitaan mengenai putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep.
Melalui twitter pribadinya, Kaesang membagikan aktivitasnya, yang tengah
belajar untuk mempersiapkan ujian. Cuitan itu pun dikomentari oleh Billy Boen
yang merupakan seorang pengusaha. Billy menanggapi cuitan Kaesang dengan
komentar “kok ngga lulus2?”. Komentar
tesebut, kemudian ditanggapi Kaesang, dengan kalimat “SAYA KAN MASUK KE KULIAHNYA SUSAH , SAYANG KALO LULUS CEPAT”.
Melalui cuitan tersebut, entah
ada angin segar darimana, kreatifitas redaksi detik.com, berinisiatif untuk menjadikan cuit-cuittaan tersebut
sebagai produk jurnalistik alias sebuah berita ‘hot’. Selanjutnya, sebagai subjek yang dibicarakan, Kaesang
memberikan respon atas pemberitaan tersebut. Putra bungsu Jokowi ini pun,
menanggapi dengan cuitan “Saya gak ngerti
@detikcom dapet info dari mana saya udah kuliah selama 6 taun. Udah gitu tempat
saya kuliah juga salah lagi” kata Kaesang.
Tulisan tersebut pun ditanggapi
oleh akun twitter Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Surabaya. Mereka
menanggapi pemberitaan tersebut hanya sekadar memindahkan konten media sosial.
AJI menganggap detik.com menghilangkan tahapan penting dalam jurnalisme, yaitu
verifikasi dan konfirmasi. Dari berita tersebut, AJI memandang pemberitaan yang
ditulis detik.com itu, tak ubahnya seperti media sosial bukan sebagai media
massa.
Kembali kepada bahasan clickbait, penulis sebagai insan yang
baru beberapa minggu ini redup dari dunia jurnalisme, sebetulnya mengetahui
mengapa hal seperti itu bisa terjadi pada detik.com. Bukan hanya detik.com tapi
juga media-media massa lainnya, yang saat ini dipatok sebagai sebuah perusahaan
media, yang harus, wajib, kudu, fardhu untuk memproduksi berita yang mampu
mengundang banyak klik dari pembaca,
Berdasarkan pengalaman penulis,
seringkali masih penulis jumpai teman-teman wartawan yang saat proses peliputan
atau penulisan, telah berupaya menulis headline
berita yang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Namun apa daya, kami yang
di lapangan atau kami yang di redaksi, harus mematuhi perubahan zaman yang
mempengaruhi regulasi ketentuan perusahaan. Singkat kata, media butuh makan
yang banyak untuk menggaji karyawan. Darimana media bisa makan? Ya dari iklan.
Dari klik yang dengan tidak sengaja diklik pembaca.
Semua itu harus dikemas
sedemikian cantik, lewat kemasan berbungkus clickbait.
Selain itu redaksi juga kepentok situasi harus berlomba-lomba ‘paling
banyak’ dalam meproduksi berita. Hal itu dilakukan agar ‘menyenangkan hati klien pemasang iklan dan konglomerat media’,
page view dari pembaca bertambah.
Pada situasi ini, pembaca
merupakan sasaran utama dalam pembahasan pada tulisan ini. Sebagai sesama
pembaca yang juga sempat menggeluti diri sebagai seorang wartawan, penulis
ingin mengajak khalayak di Indonesia agar stop meng-klik berita clickbait. Stop membagikan atau share berita yang tidak sesuai hakikat
jurnalistik yakni, menyiarkan informasi, menghibur, mendidik dan mempengaruhi.
Penulis pun di sini ingin
mengakui dosa, sebagai insan pers, penulis juga pernah memproduksi berita clickbait. Namun ini semua kembali lagi
pada situasi yang telah penulis jabarkan.
Penulis juga cukup prihatin dengan keadaan saat ini, seakan-akan hanya
wartawan yang mentah-mentah bersalah.
Daripada mengutuk fenomena media
massa saat ini sebagai tersangka, bagaimana jika antara wartawan, penulis
konten, jajaran redaksi media massa serta ‘klien iklan’ dan kepada seluruh
pembaca khalayak Indonesia, agar kita semua berupaya dan bersinergi menciptakan
kondisi jurnalisme yang ideal.
Tanamkan kepada diri kita, bahwa
sebuah berita haruslah memuat tulisan atau konten yang berkualitas. Mulailah
membaca secara perlahan, membaca dengan menyeluruh bukan hanya sepintas. Akhir
dari situ, selanjutnya bisa kita mulai dengan menjadi pembaca dengan kritis.
Lantas bagaimana dengan ihwal
tuntutan bisnis jurnalistik, yakni iklan yang kadang tampil di seluruh bagian layar
dan menutupi teks berita? Penulis yang juga sering duduk sebagai khalayak,
biasanya mengakali ‘iklan’ tersebut dengan sebuah aplikasi ads block, agar otomatis bisa memblok iklan. Tapi tentunya, redaksi
juga perlu digaji bukan. Untuk hal itu, setidaknya bisa diupayakan dengan
menampilkan iklan yang ‘halus dan sewajarnya’. Tak perlu menutupi seluruh
bagian teks berita.
Clickbait tak benar-benar bisa kita hindarkan, namun menjadikannya
tidak terlalu over clickbait bisa
jadi suatu upaya untuk menciptakan konten berkualitas. Setidak-tidaknya, harus
ada upaya pembuatan konten yang tidak meninggalkan ‘ruh’ jurnalistik. Singkat
kata, buatlah berita atau konten yang bermanfaat sesuai dengan ‘rayuan’ yang ditawarkan judul.
Dari langkah-langkah tersebut,
tak hanya berita clickbait, kiranya
hoaks yang kerap menciptakan perpecahan di antara kita, bisa saja kita hindari.
Sekiranya dari hal yang seringkali dianggap remeh ini, keadaan pers Indonesia
kemudian dapat kembali kepada sebuah makna hakiki bangsa pada Pancasila sila
ke-3, yakni Persatuan Indonesia, tanpa over
cllickbait diantara kita.